Pentingnya Seni Berbicara bagi Pemangku Kepentingan di Aceh
Sebagai wilayah yang mengalami perjalanan waktu yang panjang dan kompleks, mulai dari masa kejayaan Kesultanan Aceh, konflik bersenjata yang berkepanjangan, hingga masa rekonstruksi dan otonomi khusus pasca perjanjian damai Helsinki tahun 2005. Dalam rangkaian transformasi sosial-politik ini, peran pemangku kepentingan menjadi sangat penting. Namun, keberhasilan pembangunan aceh tidak cukup jika hanya mengandalkan kebijakan dan anggaran saja. Para pemangku kepentingan di Aceh juga harus memilik kekuatan komunikasi yang nantinya digunakan oleh para pemimpin dan tokoh kunci dalam menyampaikan visi, merangkul masyarakat, serta mengarahkan perubahan.
Retorika, dalam arti luas, adalah seni menyusun bahasa atau kata yang bertujuan untuk membujuk, meyakinkan, dan membangun kepercayaan dari individu lainnya. Dalam konteks pembangunan Aceh, retorika menjadi strategi yang jitu untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat yang kerap kali memiliki kepentingan, identitas, atau aspirasi yang berbeda. Ketika para pemangku kepentingan baik dari kalangan pemerintahan, tokoh agama, tokoh adat, akademisi, hingga aktivis sipil mampu menerapkan retorika secara efektif, mereka dapat menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan, menciptakan dialog konstruktif, dan membangun komitmen bersama demi masa depan Aceh yang lebih baik.
Bapak Syahril Furqany M.Kom, selaku Dosen sekaligus Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam mengutarakan “Tentu sangat penting bagi para tokoh atau pemangku kepentingan untuk memiliki kemampuan retorika yang baik. Hal ini bertujuan agar apa yang direncanakan kemudian nantinya disampaikan kepada masyarakat akan mendapatkan respon yang baik juga dari masyarakat. Dan untuk membangun perkembangan masa depan di Aceh, tidak cukup jika hanya usaha dari pemangku kepentingan saja maka dari itu perlu ada rasa saling percaya antar semua individu dan kemudian saling bahu-membahu untuk membawa perkembangan” ujarnya.
Dari yang beliau sampaikan, sudah jelas bahwa untuk membawa arus perkembangan tidaklah semudah mewarnai sebuah lukisan yang sudah berpola diatas canvas. Melainkan perlu adanya kecerdasan dalam membuat sketsa, mampu memadukan warna yang berbeda, hingga lukisan tersebut mampu menyampaikan makna-nya. Artinya, perlu adanya rancangan pembangunan yang cemerlang, dan mampu mengajak antusias dan partisipasi masyarakat yang memiliki pola pikiran yang berbeda. Tentunya dengan retorika yang dipadukan dengan pesan persuasif diharapkan mampu menyatukan perbedaan.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa retorika dianggap penting untuk diterapkan oleh para tokoh pemangku kepentingan. Pertama, retorika memiliki peran penting dalam membentuk narasi pembangunan. Narasi ini bukan sekadar cerita, tetapi kerangka berpikir bersama yang menjelaskan arah, tujuan, dan makna dari proses perencanaan pembangunan. Dalam kasus Aceh, misalnya, retorika yang menekankan pada rekonsiliasi, keadilan, dan keaneka ragaman identitas lokal dapat menarik simpati masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Sebaliknya, retorika yang kaku, eksklusif, atau sarat kepentingan politik sempit justru dapat memperlebar jurang perbedaan dan menciptakan resistensi bahkan perpecahan.
Kedua, retorika yang inklusif dapat memperkuat legitimasi kebijakan publik. Dalam wilayah seperti Aceh, yang memiliki sistem hukum dan nilai sosial yang unik, pendekatan komunikasi harus sensitif terhadap nilai-nilai agama, adat, dan sejarah kolektif masyarakat. Misalnya, dalam menyosialisasikan kebijakan pembangunan berbasis syariat atau dalam mengelola sumber daya alam, pemimpin yang mampu meramu retorika yang menghormati nilai-nilai lokal sekaligus menjelaskan urgensi pembangunan nasional, akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan dan dukungan.
Ketiga, retorika juga dapat menjadi sarana untuk membangkitkan kembali semangat kolektif masyarakat, terutama generasi muda. Saat ini, Aceh menghadapi tantangan besar seperti pengangguran, urbanisasi, degradasi lingkungan, dan ketimpangan pendidikan. Retorika yang membangkitkan harapan, mempromosikan inovasi, dan memperkuat identitas Aceh sebagai daerah yang berdaya saing tinggi dapat memicu semangat baru di kalangan generasi muda untuk terlibat dalam proses pembangunan. Tokoh publik, pendidik, dan pemimpin komunitas dapat menggunakan retorika yang inspiratif untuk mengajak anak muda Aceh agar tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku aktif dalam perubahan.
Akan tetapi , perlu disadari bahwa retorika juga memiliki sisi negatif. Jika digunakan untuk tujuan manipulatif, untuk menyebar kebencian atau mempertajam polarisasi, maka retorika justru menjadi penghambat pembangunan. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemangku kepentingan di Aceh untuk mengembangkan retorika yang bertanggung jawab yakni retorika yang jujur, empatik, dan berorientasi pada kebaikan bersama. Terlebih lagi, Masyarakat Aceh juga sudah kenyang dengan untaian-untaian maupun janji manis dari banyaknya oknum pemangku kepentingan. Maka dari itu diharapkan retorika yang suda dikemas kemudia disampaikan layaknya harus diimplementasikan.
Sebagai hidangan penutup, dapat disimpulkan bahwa retorika memainkan peran yang sangat strategis dalam mendukung pembangunan Aceh. Ia bukan hanya alat komunikasi yang sekedar menyebutkan beberapa gabungan huruf vokal saja, melainkan suatu kekuatan yang dapat memengaruhi arah perubahan sosial, memperkuat kohesi masyarakat, dan mendorong keterlibatan aktif semua pihak. Dalam tangan pemimpin yang visioner dan berintegritas, retorika menjadi jembatan menuju masa depan Aceh yang damai, adil, dan berkemajuan.
Komentar
Posting Komentar